polrestamedan.com – Puluhan masyarakat yang berasal dari Desa Selambo Kecamatan Percut Sei Tuan, Selasa (23/8/2011) mendatangi Mapolda Sumut.
Kedatangan para warga ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Sumut ini untuk melaporkan penodongan senjata yang dilakukan oleh seorang oknum berinisial SS kepada beberapa orang warga Selambo.
Bermula, Kamis (18/8) yang lalu sekitar pukul 05.45 WIB pagi, datang seseorang yang mengaku bernama inisial SS. Saat itu, SS mendatangi rumah salah seorang tokoh masyarakat yang bernama frengky Simatupang.
Rupanya kedatangan SS ini, dikarenakan sehari sebelumnya masyarakat yang merasa tanahnya diambil oleh SS, melakukan aksi demo didepan kantor SS. Saat melakukan aksi demo tersebut, terjadi kontak fisik antar warga dengan beberapa anak buah SS. Banyak para warga yang mengalami penganiayaan, ada yang dipukuli bahkan ada yang dipijak-pijak oleh anak buah SS saat itu.
Bahkan yang mengalami penganiayaan tersebut sebahagian besar adalah kaum ibu-ibu. Atas kejadian tersebut, para korban telah melaporkan penganiayaan itu ke Polsek Percut Sei Tuan. Namun, laporan tersebut ternyata tidak ditindak lanjuti, sehingga meneruskan laporan tersebut ke Mapolda Sumut.
Selain meneruskan laporan atas kasus penganiayaan tersebut, para warga Desa Selambo ini juga akan melaporkan adanya penodongan senjata yang dilakukan oleh SS terhadap beberapa orang warga yang saat itu sedang menjaga rumah Frengky Simatupang. Warga tersebut adalah, Olon, jhon Syahputra dan Sabar.
Sebelumnya, sesaat setelah kejadian, ketiga warga tersebut akan melaporkan penodongan senjata itu, Namun disaat akan pergi melapor, warga dihadang oleh bebeerapa orang anggota SS ditengah jalan.
“Saat itu, kejadian tidak memungkinkan untuk melapor, makanya kita datang ke Polda untuk
melapor,” ujar seorang warga, Yudha Butatr-butar di depan SPKT Polda Sumut.
Selanjutnya, Yudha menjelaskan, bahwa adanya permasalahan sengketa lahan eks PTPN II di Selambo ini terjadi karena adanya tumpang tindih yang dilakukan oleh sebuah perusahaan yang diketahui adalah milik SS.
Permasalahannya yang paling mendasar adalah perusahaan milik SS mau mengambil lahan masyarakat dengan ganti rugi yang tidak sesuai. Ganti rugi yang dibayar perusahaan kepada masyarakat adalah Rp 5 ribu permeternya.
Sementara masyarakat tidak mau diganti rugi. Karena sejak tahun 1999 yang lalu, lahan tersebut telah dikuasai oleh masyarakat. “Sekarang ini masyarakat yang berada di lahan tersebut sudah ada 1000 KK,” lanjut Butarbutar.
Lebih jauh, dia menjelaskan, SS ingin menguasai lahan masyarakat, misalnya dengan men-traktor lahan masyarakat yang telah ditanami sayuran, tanpa adanya ganti rugi sehingga masyarakat demo kesana. Luas lahan yang dikuasai masyarakat seluas 3.300 Ha. (fer/tribun-medan.com)