polrestamedan.com – Meskipun dinilai lambat, Kejaksaan Tinggi Sumut (Kejatisu), terus berupaya menemukan bukti tambahan keterlibatan Drs Rahudman Harahap, dalam dugaan korupsi penggunaan anggaran APBD Tapsel tahun 2005 senilai Rp13,8 miliar. Keterlibatan wali Kota Medan itu, ketika dia menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Tapanuli Selatan (Tapsel).
”Berdasarkan informasi yang didapat dari Pidsus Kejatisu, hasil dari pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap pihak Bank Sumut Padang Sidimpuan, memang ditemukan kejanggalan aliran dana tersebut,” ujar Kasi Penkum Kejatisu Edi Irsan Kurniawan Tarigan SH, pada wartawan kemarin (12/6). Berdasarkan hasil keterangan yang diperoleh saat pemeriksaan di Bank Sumut Padang Sidimpuan, adanya ditemukan beberapa sejumlah penggunaan anggaran yang mengalir, tersebut terindikasi menyimpang dari aturan hukum.
Namun saat disinggung apa saja yang melanggar aturan tersebut, sehingga timbulnya penyimpangan, Kasi Penkum ini tidak mau menjabarkannya dengan teknis penyidikan. ”Item penyimpangan akan dibuka apabila kasus tersebut akan masuk persidangan. Sejauh ini penyidikan masih jalan terus, hanya untuk pemeriksaan terhadap tersangka Rahudman Harahap masih menunggu izin dari Presiden,” tegas Edi Irsan.
Salah satu item yang diduga bermasalah yakni penyimpangan di pos anggaran Tunjangan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) Tapsel 2005. Dari hasil keterangan camat dan kepala desa di Tapsel, bahwa aliran dana TPAPD itu tidak sampai ke desa, hal ini berdasarkan beberapa saksi yang dipanggil ke Kejatisu guna dimintai keterangannya.
”Berdasarkan hasil keterangan yang diperoleh dari beberapa saksi saat kita minta keterangan, di Tapsel maka kita menyimpulkan maka dana tersebut tidak sampai ke kecamatan dan desa,” ucap Tarigan. Dikatakan Edi Irsan lagi, dari pemeriksaan tim Pidsus pada Kepala Bagian Keuangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tapsel, kas pemkab masih masih akibat dana tersebut belum dipulangkan.
”Kas di Pemkab Tapsel masih kosong hal itu menunjukan adanya indikasi korupsi. Untuk melakukan pemeriksaan terhadap pejabat tersebut, Kejatisu sudah melayangkan surat ijin pada presiden,’’ tegas Tarigan. Dalam meminta ijin pemeriksaan tersebut, sambung Tarigan, pihaknya juga turut melampirkan lembaran kertas hasil audit BPKP.
Sebelumnya Pidsus Kejati Sumut hanya menemukan dugaan korupsi dana TPAPD Tapsel 2005 senilai Rp 1,5 miliar. Kasus itu terjadi saat Rahudman menjabat Sekdakab Tapsel. Namun setelah dilakukan penyelidikan yang mendalam oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 27 Januari 2011, dana yang dikorupsi Rahudman Harahap menjadi membengkak mencapai Rp13,8 miliar yang berasal di pos sekretariat daerah kabupaten (setdakab).
Karena ditemukan adanya penyimpangan anggaran yang melibatkan langsung oleh Rahudman Harahap, dan berdasarkan pengakuan mantan bendahara Kas Setdakab Tapsel Amrin Tambunan, di Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan, akhirnya Walikota Medan ini ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejatisu pada 26 Oktober 2010.
Terpisah, Ketua Koordinator Wilayah Persatuan Advokat Indonesia (Korwil Peradin Sumut, Bismar P Siregar SH menilai Kejatisu lamban menangangi kasus itu. “Kajatisu lamban, padahal sudah menetapkan Walikota Medan menjadi tersangka, kalau sudah berani menetapkan tersangka seharusnya Kejatisu pun harus berani memeriksa dan menahannya,” katanya kemarin.
Kata Bismar, padahal dalam kasus tersebut salah seorang tersangka Amrin Tambunan yang menjabat sebagai pemegang uang kas Sekretaris Pemkab Tapsel sudah dituntut 4 tahun 6 bulan penjara dengan denda Rp300 juta, subsider 4 bulan penjara.
“Amrin saja sudah dinyatakan telah terbukti secara sah melakukan tindakan pidana korupsi TPAPD Pemkab Tapsel tahun 2005 yang merugikan negara sekitar Rp.1,5 miliar lebih dan melanggar Pasal 2 Ayat (1) UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Tipir jo pasal 55 ayat (1) KUHPidana,” ungkap Bismar.
“Berdasarkan Pasal 36 ayat 2 Undang-undang nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Kejatisu tidak perlu lagi menunggu ijin dari presiden karena waktu 60 hari sudah lewat dalam melakukan penyelidikan, penyidikan serta penahanan, karena sudah jelas dalam pasal tersebut, apabila persetujuan tertulis dari Presiden belum ada, maka pihak kejatisu dapat melakukan proses penyelidikan,” ujarnya.
Sementara itu, Edi Irsan Kurniawan Tarigan berkata, “Kita masih menunggu surat ijin, kita tidak mau melangkahi peraturan, karena dalam Undang-undang mengatur pemeriksaan Kepala Daerah harus ada ijin dari Presiden,”jelasnya. ”Dalam undang-undang bahwa pemeriksaan kepala daerah harus ada ijin, walaupun dalam pasal itu ada yang mengatakan kalau sudah lewat waktu 60 hari, tapi kita tetap pada ketentuan pasal yang pertama mengenai surat ijin,” terangnya.(posmetro)